ARSIP - Setelah Kamu
Kerinduan hanya tinggal kata “kerinduan”. Aku mengutuknya sebagai benda mati. Sudah. Tidak punya makna apa-apa lagi.
Aku mengambil satu debu yang menempel di kantung mata kiri, hampir memasuki retina. Kukira, telah mengendap lama semenjak tangis terakhir yang merelakan kepergianmu. Tergeletak usang, menyatu dengan poriku yang membesar. Hitam kecokelatan atau keabu-abuan. Entah.
Purnama berlalu, mungkin takdir menemukan kembali noda hati yang telah terserap dalam-dalam. Seberapa kemungkinan telah jatuh kepada orang-orang yang kuukir segalanya. Sabit hanya menggeleng, lantas terdiam.
Kini, yang kurasakan adalah seluruh tubuhku sakit saat terbangun tanpa kau di sisiku. Aku takut kepada bangun pagi dengan mata sembab, sebab menangisi malam yang sudah-sudah. Biarkan tidurku menjadi sebuah pelarian yang paling tepat.
Setelah kamu, hari-hari tetap berjalan seperti biasa. Pada pagi, embun bergelayut di ujung daun, lalu jatuh—mengalah pada gravitasi. Siang hari, mentari menguapkan jejak kaki, kemudian membakar diri dengan menghamburkan jingganya di tepi barat. Dan pada malamnya, sabit masih mengucap selamat tidur pada jiwa-jiwa yang enggan terbaring.
Semuanya masih lengkap. Hanya saja, kini aku menikmati mereka di sebatas kaca jendela.
Setelah kamu, kurasa tidak ada kesakitan yang hebat di sini. Meski kutahu, tanah yang kutapaki terasa lebih kasar, lampu-lampu di jalanan terlihat begitu blur.
Setelah kamu, sebuah kehilangan adalah entah. Kamu masih menyelinap dalam mimpi-mimpiku di tengah malam, masih terselip di sisa doa yang pernah kupanjatkan. Semoga bahagia, meski pada akhirnya takdir semesta menentukan bahagiamu bukan denganku.
Setelah kamu, tak akan ada kamu yang lain. Kucukupkan kamu sebagai khilaf yang paling akhir.
Dengan menyebut nama kamu yang telah jauh kutinggal, kutulis ini bersama sisa rindu yang menumpuk di tinta hitamku. Malam ini, kunyatakan bahwa kuikhlaskan seluruh kamu kepada Bumi. Telah kukembalikan yang bukan hakku pada angin, semoga tersampaikan hingga ke tempatmu kini yang tak kuketahui—dan selamanya tak ingin kuketahui lagi.
“Pejamkan matamu, maka aku akan hilang selamanya.”
Setelah kamu, kurasa tidak ada kesakitan yang hebat di sini. Meski kutahu, tanah yang kutapaki terasa lebih kasar, lampu-lampu di jalanan terlihat begitu blur.
Setelah kamu, sebuah kehilangan adalah entah. Kamu masih menyelinap dalam mimpi-mimpiku di tengah malam, masih terselip di sisa doa yang pernah kupanjatkan. Semoga bahagia, meski pada akhirnya takdir semesta menentukan bahagiamu bukan denganku.
Setelah kamu, tak akan ada kamu yang lain. Kucukupkan kamu sebagai khilaf yang paling akhir.
Dengan menyebut nama kamu yang telah jauh kutinggal, kutulis ini bersama sisa rindu yang menumpuk di tinta hitamku. Malam ini, kunyatakan bahwa kuikhlaskan seluruh kamu kepada Bumi. Telah kukembalikan yang bukan hakku pada angin, semoga tersampaikan hingga ke tempatmu kini yang tak kuketahui—dan selamanya tak ingin kuketahui lagi.
“Pejamkan matamu, maka aku akan hilang selamanya.”
Dalam Buku ARSIP, Kukenang dengan Istigfar Hal. 96 (Tria Nur Awalia)