Surat Kabar 30: Sebuah Patah Hati Terhebat
10 April (2004)
Aku. Adalah seorang yang berusia sembilan tahun, mengenakan dress kuning bergambar Teletubbies. Berdiri, dan belum sempat mandi. Membacakan sebuah syair yang sama sekali tak kupahami bahasanya di hadapan manusia-manusia yang bungkam.
Begitu antusias, karena kuyakin; Tuhanku mendengarkan.
Lengang ....
Lihatlah pada jejak langkah kecil di tanah merah itu! Jejak dari sandalku yang beralas licin. Satu kali, dua kali, berkali-kali hampir tergelincir. Ibuku menjulurkan tangannya, menggenggam erat sekujur tubuhku agar tak terjatuh di sepanjang jalan ke rumah.
Di salah satu pintu rumah yang selalu tertutup, hanya aku dan ibuku. Di sanalah, tempatku menerjemahkan segala bahasa.
Pensil yang selalu diraut dengan amat runcing telah patah, kusimpan bangkai pensil dalam tas hitam bergambar Teletubbies.
Aku menjadi salah satu manusia yang mau tidak mau harus mencatat terjemahan dari tiap larik syair dengan darah dari jemariku yang mungil dan masih belum kokoh.
Aku mengusahakan tidur di lantai ruang tamu depan TV. Berharap saat terbangun kudapati sebuah tempat tidur dengan seprai berwarna hijau bermotif, bantal berwarna merah bergaris, dan selimut berwarna kuning polos.
Mataku terbuka di tempat yang sama, terbangun oleh suara lembut ibuku yang membisikanku untuk berpindah dari mimpi.
Aku memiliki banyak mimpi. Mimpi pada saat mata tertutup, dan mimpi pada saat mata terbuka. Meski banyak orang yang hidup tanpa memimpikan sesuatu pun sejak awal, aku tetap memercayai mimpi.
Menyentuh warna pelangi, adalah salah satu dari banyaknya mimpi. Mejikuhibiniu, seperti warna kursi lipat di terasku.
Meski hal-hal di sekitarku dipenuhi dengan warna, tapi, bagiku, warnaku hanyalah hitam, putih, dan kadang abu-abu — sejak saat itu.
Ada banyak hal dalam diriku yang tidak dikeluarkan, kata-kata bahkan air mata.
Namun, ketika semua orang mengatakan "Kamu harus kuat!" Sebenarnya, aku sudah lebih kuat seribu kali.
Karena ada saat aku yang sebelumnya ringkih mulai memercayai bahwa sesuatu hal yang hilang tidak bisa terganti. Dan mulai memahami bahwa waktu yang berlalu, tidak bisa kembali.