Surat Kabar 34: Kanvas Hitam dan Awan Putih
5 Mei, dengan hitungan hari lainnya,
Cermin pecah, lantai licin, dinding retak, jalan macet, tanah basah, langit mendung, sepatu kotor, tubuh berkeringat, muka kusut, kepala berceceran, begitulah hidup dan segala isinya.
Kalau saja aku membuka kembali isi kepala ini, rangkaian memorinya pasti sudah terpisah-pisah. Terpisahkan waktu, terpisahkan ruang, terpisahkan oleh kebingungan-kebingungan yang tak tertuntaskan.
Jam dinding menunjukkan waktu jam tidur. Kedua mata masih mengantarkanku pada sebuah pemandangan yang sering kuulang-ulang, dan aku tidak bisa melarikan diri kemudian melampauinya.
Aku ingin mengosongkan pikiran sejenak, tetapi meski dirasa telah terkuras oleh tugas-tugas yang terkadang membebani hari libur; nyatanya otakku tetap bekerja dengan penuh membentuk seperti gumpalan awan-awan putih yang dilukis pada kanvas hitam.
Awan-awan itu terkadang terhalang oleh gambar gedung-gedung kosong yang tinggi, pohon-pohon mati yang seharusnya tumbang, bahkan burung-burung yang kehilangan separuh sayapnya yang berusaha beterbangan.
Di bawah awan (yang menghitam) itu, orang asing berlalu-lalang, berjalan, dan berlarian tanpa arah. Karena jalan yang dipijakinya adalah kumpulan reruntuhan dari kehidupan yang telah berlalu. Orang-orang itu tergambarkan dengan simpul senyum yang seolah menghadirkan cerita menarik yang membawaku pada jalan cerita yang dibuatnya sendiri.
Ternyata waktu telah menghapus jejak kehidupan yang dulu gemerlap.
Aku berada di gambaran kota yang tak bisa kupahami keadaannya. Tapi, aku berterima kasih kepada Ibuku, terima kasih sudah mengizinkan anak perempuannya menelusuri jalan sesuai keinginannya untuk menjelajahi tempat yang ia mau—sejauh ini.
P.S.: Meski aku tak mencintai tempat ini, tetapi aku mencintai Ibuku dengan sangat.